Pages

Tuesday, November 30, 2010

Human Relationship Development

1. Jelaskan Relevansi dan Implikasi kajian HRD dengan kajian PR

Definisi public relation adalah usaha yang direncanakan secara terus-menerus dengan sengaja, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal balik antara organisasi dan masyarakatnya sedangakn Human Relation sendiri adalah interaksi seseorang dengan segala bentuk, situasi dan bidang kehidupan yang menghasilkan kepuasan. Pengertian ini menyangkut masalah interaksi verbal, non verbal, interaksi di rapat, kantor, perjalanan, interaksi masalah pribadi, dan organisasi HR ini dimaksudkan meningkatkan moral dan disiplin anggota organisasi. Bertujuan untuk meningkatkan motivasi kerja, sense of belonging, yang dikaitkan dg peningkatan produktivitas. Sehingga Human Relations fokus pada bagaimana metode komunikasi yang dipergunakan mampu memotivasi orang-orang dalam organisasi agar terjadi sikap kooperatis, kedisiplinan, etos kerja, produktivitas dan kepuasan bagi kedua belah pihak (antara perusahaan & pekerja).
Relevansi Dari kajian HRD dan Kajian PR sangat erat kaitannya dalam Suatu perusahaan. Public Relation (PR) adalah fungsi manajemen yang membantu meraih tujuan organisasi, merumuskan filosofi dan memperantarai perubahan organisasi sedangkan Human Relations dalam aktivitas manajemen adalah untuk mengupayakan agar para karyawan mampu menciptakan suatu kerjasama antar karyawan dalam satu tim kerja, meningkatkan produktifitas dan memperoleh kepuasan kerja. Jadi antar keduanya mempunyai Hubungan dalam menciptakan Hubungan antar karyawan Dalam sebuah organisasi
Implikasi Kajian HRD dan Kajian PR adalah dalam mengupayakan agar para karyawan mampu berkomunikasi dengan baik sehingga menciptakan suatu kerjasama antar karyawan dalam satu tim kerja serta meningkatkan produktifitas dan memperoleh kepuasan kerja agar tujuan suatu organisasi dapat terwujud

2. Jelaskan Implikasi Pemahaman akan tipe kepribadian dengan kegiatan HRD?

HRD berkaitan dengan cara menjalin menjalin hubungan dengan Internal relations, external relations, community relations, media relations, labor relations dsb. Sehingga Setelah tahu tentang kekuatan dan kelemahan pribadi masing, kita dapat lebih mengembangkan kekuatan dan mengurangi kelemahan. Dalam berorganisasi Sehingga dalam sebuah organisasi dapat terjalin komunikasi timbal balik, yang berguna untuk membangun pengertian, penerimaan serta kerjasama antara organisasi dengan publiknya dan juga kita dapat megetahui pekerjaan yang sesuai dengan kriteria kita. Perbedaan dan pertentangan itu biasanya menghambat tercapainya tujuan bersama. Untuk itu perlu upaya memperkecil perbedaan dan mewujudkan persamaan. Upaya ini dapat dilakukan oleh Human Relation Development (HRD)
Ada 4 tipe kepribadian dalam manusia yaitu : Sanguinis, Melankolis, Koleris & Plegmatis, atau ada juga yg langsung mengkategorikannya sesuai dgn sifat dominan masing-masing tipe, yaitu: Sanguinis Populer, Melankolis Sempurna, Koleris Kuat & Plegmatis Damai

1. Tipe Kepribadian Sanguinis
Tipe ini paling baik dalam hal berurusan dengan orang lain secara antusias; menyatakan pemikiran dengan penuh gairah; memperlihatkan perhatian. Kelemahan tipe ini adalah berbicara terlalu banyak; mementingkan diri sendiri; sulit berkonsentrasi; kurang disiplin.

2. Tipe Kepribadian Melankolis
Tipe ini paling baik dalam hal mengurus perincian dan pemikiran secara mendalam, memelihara catatan, bagan dan grafik; menganalisis masyarakat yang terlalu sulit bagi orang lain. Kelemahan tipe ini adalah mudah tertekan; menunda - nunda suatu pekerjaan; mempunyai citra diri yang rendah; mengajukan tuntutan yang tidak realistis pada orang lain.

3. Tipe Kepribadian Koleris
Tipe ini paling baik dalam hal pekerjaan yang memerlukan keputusan cepat; persoalan yang memerlukan tindakan dan pencapaian seketika; bidang-bidang yang menuntut kontrol dan wewenang yang kuat. Kelemahan tipe ini adalah tidak tahu bagaimana cara menangani orang lain; sulit mengakui kesalahan; sulit bersikap sabar; terlalu pekerja keras.

4. Tipe Kepribadian Phlegmatis
Tipe ini paling baik dalam posisi penengahan dan persatuan; badai yang perlu diredakan; rutinitas yang terus membosankan bagi orang lain. Kelemahan tipe ini adalah kurang antusias; malas; tidak berpendirian; sering mengalami perasaan sangat khawatir, sedih dan gelisah.

3. Pengertian HRD

 Arti Luas :
adalah interaksi seseorang dengan segala bentuk, situasi dan bidang kehidupan yang menghasilkan kepuasan.
pengertian ini menyangkut masalah interaksi verbal, non verbal, interaksi di rapat, kantor, perjalanan, interaksi masalah pribadi, organisasi dll. Dalam interaksi ini, banyak digunakan ukuran nilai, sopan santun dan etika. Bertujuan untuk memperoleh kepuasan bagi kedua belah pihak.

 Arti Sempit :
adalah interaksi antara seseorang dengan orang lain. Khusus dalam situasi kerja dan dalam organisasi kekaryaan (work organization). HR ini dimaksudkan meningkatkan moral dan disiplin anggota organisasi. Bertujuan untuk meningkatkan motivasi kerja, sense of belonging, yang dikaitkan dg peningkatan produktivitas.
Praktisi PR berkomunikasi dengan seluruh publik internal dan eksternal yang terkait untuk membangun hubungan positrif dan untuk menciptakan konsistensi antara tujuan organisasi dan harapan masyarakat. Praktisi PR mengembangkan, melaksnakan dan mengevaluasi program organisasi dengan mendorong pertukaran pengaruh dan pengertian antara bagian-bagian pokok dan publik organisasi) (Otin Baskin, et.al, 1997:5)
dalam berorganisasi ada banyak pihak-pihak berkepentingan yang harus diajak berkomunikasi, khususnya kelompok tertentu komunitas local dan para pembentuk Opini, disini peran PR dalam memelihara dan mempertahankan hubungan positifdengan lingkungan eksternal, terutama berkaitan dengan keberhasilan financial, kebijakan lingkungan dan etika bisnis. CSR (corporate Social Reponbility) merupakan realisasi dialog dan dampak bagi operasionaldi masa mendatang dan penciptaan suatu profil yang bisa meningkatkan citra perusahaan tersebut

Saturday, November 27, 2010

BAHASA dan IDENTITAS

BAHASA dan IDENTITAS
Kata “Gue & loe” Bahasa Asli Betawi Yang Di gunakan Sebagai Bahasanya anak Gaul


Bahasa menunjukkan bangsa. Paling tidak itulah sebuah tamsil atau pepatah lama menyebutkannya. Lain dari pada itu, bahasa juga merupakan sebuah konvensi dari para penggunanya. Karena merupaka konvensi, bisa jadi bahasa pun digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperlihatkan identitas mereka. Inilah saya, inilah kami, ketika sebuah pertanyaan muncul mengapa mereka menggunakan bahasa seperti itu.
Menarik untuk memperhatikan bahasa sebagai identitas kelompok. Karena dengan mendengar atau melihat slogan, kata atau istilah yang mereka pakai, secara cepat kita dapat mengetahui bahwa mereka adalah kelompok ini, atau mereka merupakan bagian dari kelompok itu. Dalam tulisan ini setidaknya ada beberapa kelompok yang menggunakan bahasa tertentu sebagai petanda bahwa mereka berasal dari kelompok yang memiliki sebuah ciri dan konvensi tersebut
Menurut Pendapat para ahli menyatakan, kunci suatu komunikasi yang baik adalah bahasa dan penyampaian bahasa itu sendiri. Begitu banyak bahasa di dunia ini, dan bagaimana selama ini bahasa itu bisa tercampur menjadi suatu komunikasi yang baik. Kita bisa berbicara dengan semua bahasa yang ada itu, tetapi kita tak mengetahui arti dan maknanya, tak ubahnya kita ibarat bertamu di rumah sendiri. Jadi meski kita berada di tempat sendiri namun merasa tidak mengetahui apa-apa. Semua bahasa yang ada di dunia ini mengalami perubahan dari satu bahasa satu ke bahasa yang lain
Seperti Bahasa gaul, bahasa ini baru muncul beberapa tahun terakhir. Sesudah reformasi (1998), digunakan untuk menyebut bahasa yang dipergunakan oleh anak-anak muda seperti yang biasa kita dengar di sinetron-sinetron atau dalam percakapan antar anak muda, atau ketika mereka diwawancara. Dalam bahasa gaul kita perhati-kan banyak sekali pengaruh bahasa Jakarta.
Kata ganti orang pertama dan kedua, menggunakan bahasa Cina yang sudah menjadi bahasa Jakarta yaitu gua (gue) dan lu (elo). Meskipun tidak banyak yang menggunakan bunyi "a" dengan "e" pada akhir kata seperti orang Betawi, tetapi perbendaharaan kata Jakarta banyak sekali digunakan. Begitu juga pembentukan kata jadian, sering mengikuti bahasa Jakarta, atau menggunakan akhiran "in" untuk akhiran "kan" dalam bahasa Indonesia baku. Kata "mencuri" jadi "nyu-ri", atau "maling", kata "bersembunyi" jadi "ngumpet", kata "mendekati" jadi "nyamperin", kata "memikirkan" menjadi "mikirin", dan semacamnya. Sebab, bahasa gaul baru muncul sejak kira-kira 1998, maka dalam ka-mus-kamus pun tidak tercantum sebagai entri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan yang pertama kali terbit 1994, entri bahasa gaul tidak ada. Dalam Kamus Besar Bahasa In-donesia (KBBI) entri bahasa gaul baru tercantum dalam edisi keempat (2008). Dalam edisi sebelumnya belum ada.
Menurut KBBI edisi keempat itu, bahasa gaul artinya "dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk pergaulan". Sementara "pergaulan" menurut KBBI itu, juga artinya "n 1 perihal bergaul; 2 kehidupan bermasyarakat; - memengaruhi kepribadian". Artinya, kalau keterangan tentang bahasa gaul itu disesuaikan dengan keterangan tentang arti "pergaulan", akan berbunyi "dialek bahasa Indonesia nonformal, yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk perihal bergaul; atau untuk kehidupan bermasyarakat"
Misalnya saja kata “gue” dan “lo” sebagai pengganti “aku” dan “kamu” dalam percakapan sehari-hari. Sebenernya Kata Tersebut merupakan campuran atara bahasa betawi dan tionghoa, dlu orang Tionghoa dan Betawi hidup berdampingan secara damai. didalam pergaulannya ada beberapa kata yang kerap dipake juga oleh org betawi dan mengalami perubahan sedikit
Geu dari kata Wa, Elo dari kata lu, Engkong dr kong, Gopek dr gopak, Gepek dr cepak
Kata-kata tersebut dulu hanya digunakan oleh orang-orang betawi asli dan bukan dari suku lainnya. Namun sekarang kata tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh orang yang merasa gaul seperti halnya di daerah Jawa Timur khususnya daerah malang banyak orang-orang yang lebih sering menggunakan kata tersebut karna ingin dianggap sebagai anak gaul Ibukota. Rasanya aneh aja kalo misalnya harus mendengar seorang Jawa yang lidahnya masih medhok Jawa banget ngomong pake “gue” dan “lo” ketimbang “aku” karo “kowe” bahkan ketika sedang bercakap-cakap dengan sesama orang Jawa. memangnya kenapa kalo make bahasa daerah sendiri? Ada yang kurang? Apa kesannya ndeso? Apa takut dicap nggak gaul kalo pake bahasa daerahnya situ sendiri? Malah jadi keliatan gaul-wannabe kalo make bahasa dari daerah lain yang sedangkan mereka sendiri belum fasih menggunakan dialeknya. mereka malah macam anak muda kampungan yang lagi maksa kepengen punya taste ala ibukota.
Gaya bicara ibukota memang akhirnya jadi tren dan standar sebagai imbas dari keseragaman setting hiburan yang dikonsumsi sama konsumen-konsumennya yang lagi krisis identitas. Saking dianggapnya sebagai standar, beberapa karya hiburan yang lahir belakangan akhirnya jadi ikut-ikutan latah Akan tetapi, yang jelas kita alami sekarang bahwa bahasa gaul itu tidak hanya digunakan dalam kelompok tertentu atau di daerah tertentu. Dengan digunakannya dalam sine-tron-sinetron dan pada wawancara yang disiarkan oleh televisi secara nasional, maka bahasa gaul digunakan secara luas dalam masyarakat Menurut keterangan, BBC di London hanya menyiarkan bahasa Inggris baku, bahasa gaul seperti yang umpamanya terdengar dalam percakapan sehari-hari orang London sekalipun, tidak boleh disiarkan oleh BBC.
Akan tetapi, stasiun-stasiun televisi di Indonesia boleh menyiarkan bahasa gaul secara bebas, sehingga akan besar pengaruhnya kepada pemakaian bahasa sehari-hari masyarakat yang banyak mendengarkan siaran-siarannya. Bahasa gaul juga sekarang digunakan oleh para pemasang iklan.
Bahkan dalam radio-radio lokal mereka sering menggunakan basaha ini sebagai bahasa penyiaran. Efek dari keseragaman setting hiburan, mulai meracuni para remaja yang bukan ibukota. Mereka serasa belum keren kalo belum ngomong dengan bahasa penduduk ibukota. Bahasa simbah kakung dan simbah putrinya mulai terabaikan. Mereka seakan nggak bangga dengan identitas daerahnya sendiri yang justru memberikan diferensiasi, warna, dan keunikan tersendiri pada identitas pribadinya. Lucunya, saking pengennya dicap gaul ala ibukota, mereka nggak menyadari pantas-tidaknya mereka menggunakan bahasa yang dipikirnya bakal meningkatkan harkat, derajat, dan martabatnya itu. Lidah nggak fasih tapi maksa. Jadilah mereka kayak serombongan pemain dagelan.
Maka jangan salahkan bila sebagian orang menganggap manusia-manusia yang ber-lo-gue-lo-gue-an demi status gaul dan keren dengan mengorbankan identitas lokalnya adalah manusia yang murahan. Kecuali dalam perkara di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, penggunaan lo-gue-lo-gue-an dengan logat Jawa yang masih medhok malah menunjukkan betapa kalian adalah korban mode picisan yang tidak punya identitas, keunikan, dan kelas tersendiri

Sunday, September 19, 2010

Postmodernisme

Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural.
Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan, dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Satu hal yang luput disadari terhadap postmodernisme adalah bahwa postmodernisme merupakan suatu gerakan kebudayaan dan sistem pengetahuan kebudayaan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh karena tidak begitu diperhatikannya “konsep kebenaran” yang dimiliki postmodernisme.
Dari sisi yang sangat utama ini, terhadap modernisme, “konsep kebenaran” yang dimaksud selain telah meruntuhkan standar kebenaran satu-satunya yang dimiliki modernisme, juga telah menggantikan rasio, atau rasionalisme-empirisisme, atau saintisme, yang selama ini menjadi pusat realitas—pusat segala-galanya. “Konsep kebenaran” itu, di satu sisi, adalah kebudayaan itu sendiri karena yang menjadi ukuran kebenarannya adalah nilai-nilai yang berada di dalam konteks kebudayaan, atau kebudayaan tersebut sebagai nilai, dan di sisi lainnya, adalah pengetahuan kebudayan itu sebagai sistem pengetahuan dengan ukuran kebenaran yang sama, kebudayaan atau nilai. Sudah tentu “konsep kebenaran” tersebut tidak dalam pengertian monisme (ketunggalan) sebalik pluralisme (anekaragam)—misalnya, bahwa kebenaran tidak tunggal tetapi banyak, dan juga tidak sentral tetapi berada, seberanekaragam dan sebanyak aneka dan ragam ada dan berada-nya kebudayaan-kebudayaan (komunitas) itu sendiri.
Bahwa postmodernisme cenderung dipandang miring sebagai sesuatu yang “suka-suka”, “apa saja boleh”, “tidak ada aturan”, “destruktif”, “anarkis”, “radikal”, “tidak punya standar kebenaran”, “tidak punya nilai”, atau “hanya omong kosong” (Ritzer, 2003: 407), dan berbagai “kecenderungan skeptis” (Piliang, 2003: 267) lainnya, dengan demikian berarti tidak tepat sama sekali. Sebaliknya postmodernisme justru, tidak saja memiliki “konsep kebenaran”, dengan menempatkan nilai sebagai ukuran kebenaran (dalam posisi dan pengertian yang plural), tetapi yang lebih penting adalah meng-ada-kan dan mem-berada-kan seluruh dan beranekaragam kebenaran-kebenaran yang ada, setelah membelanya di hadapan kebenaran rasio sebagai “suatu keangkuhan kebenaran” selama ini—dengan sekaligus menurunkannya ke posisi yang sejajar bersama alat-alat ukur kebenaran yang lain.
Postmodernisme akan lebih mudah dipahami dengan terlebih dulu memandangnya sebagai suatu reaksi terhadap modernisme sebagai bagian dari reaksi tersebut, modernisme dipandang:
(a) merupakan upaya manusia menjadi subjek melalui penyingkiran Subjek (Tuhan). Dalam hal ini, modernisme merupakan upaya manusia menjadi: subjek yang berkuasa dan otonom, dan subjek yang berkebasan mutlak dan individual;
(b) modernisme sekaligus merupakan upaya penggantian Standar Kebenaran, Logos (Tuhan) dengan rasio, rasionalisme (sains), sebagai standar kebenaran (logos), dan;
(c) modernisme merupakan upaya mengobjektitaskan (menjadikan sebagai objek) dan sekaligus merasionalitaskan dunia (menjadikan dunia sebagai “dunia akal”).
Sejumlah pandangan di atas sekaligus merupakan kritik postmodernisme sebagai upaya mengungkap kepalsuan-kepalsuan modernisme. Atas dasar kritik demikian kemudian postmodernisme menolak modernisme. Kritik postmodernisme yang sekaligus merupakan landasan penolakan terhadap modernisme,
Sebagaimana konsep realitas oleh modernisme. Bagi postmodernisme, konsep realitas modernisme hanya ilusi, palsu (realitas objektif palsu), sengaja memalsukan realitas yang sesungguhnya menjadi realitas rasionalisasi, narasi (metanarasi) oleh karena sama sekali tidak ada realitas yang demikian kecuali hanya di dalam rasio atau pikiran manusia semata. Sebaliknya, realitas bagi postmodernisme tidak lain adalah realitas yang diciptakan, diwujudkan, tepatnya diciptakan atau diwujudkan oleh bahasa. Bahasalah yang telah menciptakan dan membuatnya menjadi realitas mewujukan menjadi realitas dan sekaligus secara terus-menerus memberadakannya sebagai proses penciptaan realitas. Realitas ciptaan tersebut sesungguhnya merupakan suatu fakta, fakta ciptaan, fakta sosial.
Postmodernisme memandang manusia sebagai diri yang di-ada-kan, yang di-berada-kan, yang diciptakan melalui dan sekaligus oleh jaringan sosial, kehidupan sosial—yang diwujudkan oleh dan sekaligus merupakan proses bahasa. Dalam hal ini, postmodernisme memang memandang kehidupan sosial lebih dulu muncul sementara manusia seolah-olah menyusul setelahnya. Pandangan demikian disebabkan pandangan postmodernisme yang melihat realitas sebagai fakta (fakta sosial bahasa), yang oleh karenanya hanya “realitas dengan kehidupan sosial yang lebih dulu muncul sementara manusia datang menyusul” itulah yang dapat diterima sebagai fakta; dapat diterima sebagai fakta yang memiliki sekaligus melalui alasan-alasan atau dasar-dasar landasan faktualnya yakni sebagai ciptaan bahasa
Maka, sesuai dengan konsep-konsep filosofis tentang “apa” (“onto”), “bagaimana” (“epistema”), dan “untuk manfaat dan kegunaan apa dan bagaimana” (“aksio”) yang dimiliki postmodernisme di atas, sebagai sistem pengetahuan, postmodernisme tidak lain merupakan sistem pengetahuan kebudayaan (kulturalisme, culturalism) sekaligus pengkajian kebudayaan (cultural studies)
KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Menurut Magnis Suseno setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu:
1) “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil menggandung banyak kebusukan.
2) “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.
3) Kebutaan ketiga “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Sedang menurut Ariel Heryanto[8] (dikutip dari seminar “Pascamodernisme :Relevansinya Bagi Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir” di Salatiga, 8-9 Oktober 1993. mengatakan bahwa : cukup banyak pendapat bahwa postmodernisme tidak perlu diperhatikan karena dianggap tidak ada yang baru darinya. Ada dua alasan yang sering dikemukakan. Postmodernisme dianggap sama dengan relativisme atau sekedar “metode kritik” yang sudah dikerjakan hampir semua isme lainnya. Bagi pihak lain postmodernisme dianggap sudah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari, dianggap terlalu biasa dan tak pantas mendapatkan perhatian khusus.
Postmodernisme juga diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak-belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “re;ativisme” yang ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat anything goes (“apa pun saja boleh”). Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.